Kamis, 11 April 2013
Eka Prahadian Abdurahman: Perjalanan Ribuan Kilometer Dimulai dari Langkah Pertama
Tulisan ini sudah dipublikasikan di www.sosokindonesia.com
Senin, 08 April 2013
86 : Tahu Sama Tahu
“Membiasakan yang benar pastilah lebih nyaman daripada membenarkan yang biasa.”
Apa
yang saya pikirkan mungkin sama dengan yang anda pikirkan. 86-lapan enam-
adalah istilah kepolisian yang memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami.
Istilah inipun mencuat kepermukaan, hingga sekarang maknanya “beres bersyarat”.
Tahu sama tahu. Isu sosial inilah yang membuat Okky Madasari mengangkat isu 86
dalam bukunya yang berjudul sama.
Arimbi,
seorang anak petani asal Ponorogo.Berprofesi sebagai juru ketik dan tukang
fotokopi di sebuah pengadilan negeri di Jakarta. Ia tinggal di sebuah gang sempit yang lumayan jauh
dari kantornya. Hanya berjalan kaki sekitar lima menit menuju simpang jalan
besar Mampang, kemudian menaiki Kopaja sekitar dua puluh menit saat jam macet
menuju kantor.
Gang
tempatnya tinggal penuh sesak dan keringat ketika pagi dan sore menjelang. Bagaimana
tidak, disanalah buruh-buruh pabrik dan pegawai-pegawai rendahan tinggal.Mereka
mengawali hari dengan keburu-buruan, begitu pula mengakhiri rutinitas dengan
hal yang serupa.Alasan utamanya memilih rumah kontrakan
iniadalah harga. Ada harga ada pula
kualitas. Rumah ini hanya bisa diisi sebuah kasur, kamar mandi, dan sebuah
dapur kecil disampingnya.
Awalnya ia bekerja normal tanpa embel-embel 86. Sama seperti ketika ia melamar pekerjaan tanpa harus bayar danditerima menjadi
Pegawai Negeri Sipil. Mungkin nasib. Ya
nasib jugalah
yang sedang berpihak padanya ketika
sebuah AC (air conditioner) tiba
dirumah kecilnya suatu malam. Setelah empat
tahun menjadi juru ketik, baru kali inilah ia dikagetkan pemberian orang.
Berawal dari AC
yg datang secara “tiba-tiba”, menjadi pintu gerbang ia menemui "AC-AC lainnya". Mempunyai penampilan menarik, memiliki
rumah pribadi, dan hidup bahagia menjadi impian semua orang. Tak terkecuali
Arimbi.Arimbi secara tak sadartelah memasuki
tahap lupa diri. Awalnya, ia dengan sukarela mengetik semua berkas-berkas
persidangan yang akan disidang. Sekarang semuanya bisa beres asal ada pelicin. Dengan 86 semua urusan beres.
Saya
rasa, hal seperti inilah yang membuat KPK hingga saat ini masih sulit
mengungkap banyak kasus korupsi. Apalagi dengan adanya istilah 86 ini. Siapa
sangka juru ketik saja bisa masuk
penjara? Setelah masuk penjara pun ia tetap lupa diri.
Didalam
penjara, ia menyukai sesama tahanan wanita, dan memulai 86 lain. Ia bergabung
dengan jaringan produsen sabu-sabu terbesar di Indonesia. Mungkin karena
didukung Ananta, suaminya.Suaminya turut menjadi kurir diluar penjara,
sementara ia masih mendekam dalam penjara.
Sebenarnya
mereka melakukan hal ini demi ibu Arimbi yang sakit ginjal. Dimana membutuhkan
biaya satu juta per-minggu untuk cuci darah. Sampai pada suatu hari ibunya
meninggal. Ya yang namanya manusia, mereka juga tak pernah puas. Setelah keluar
dari penjara pun, mereka masih melakoni profesi sampingannya sebagai kurir
sabu-sabu. Hingga suatu hari mereka menemui “ajalnya”.
Dibukunya
yang lain Okky juga mengangkat isu
kemanusiaan
yang berjudul Entrok dan Maryam. Sepertinya,
Okky memang fokus mengangkat isu-isu yang menyangkut idealisme, pluralisme,
kaum minoritas, hingga korupsi. Ia juga selalu mengangkat tokoh perempuan
disetiap bukunya. Okky menyajikan cerita ini mengalir dan mudah dimengerti.
Didukung dengan deskripsi yang jelas. Barangkali karena ia pernah menjadi
wartawan untuk kasus-kasus korupsi dan hukum. Sama seperti kita memahami
lokasi-lokasi kejadian dalam cerita. Karena dihalaman awal buku disajikan peta
lokasi cerita.
Judge this book from the cover. Bagi saya, daya tarik awal buku ini ya pada sampul depannya.Terlebih kalau diperhatikan detail gambarnya.Sampai buku ini selesai saya baca, saya tak menemui kekurangan. Mungkin karena saya terbawa emosi saat membacanya. Saya harap kalian pun demikian. Buku ini menjadi salah satu buku terbaik pada Khatulistiwa Literary Award 2011, sama seperti buku Okky yang lain.
Resensi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1553:86-tau-sama-tau&catid=42:resensi&Itemid=62
Nujood, Gadis Kecil yang ‘Tangguh’
“Aku hanya gadis desa
yang lugu dan sederhana.. Aku menuruti semua perintah ayah dan kakak-kakak
lelakiku. Dari dulu aku belajar mengatakan ya kepada apa saja. Hari ini, aku
memutuskan berkata tidak.” –Nujood Ali
Dengan pasti ia melangkahkan kakinya menuju sebuah
pengadilan, yang dipikirnya tempat yang tenang, bersih, rumah besar
berlangsungnya kebaikan mengalahkan kejahatan, tempat dimana bisa memperbaiki semua masalah di dunia.
Hanya satu yang dia inginkan. Perceraian. Ya perceraian.
Meski ia tidak tahu betul apa arti dari perceraian tapi ia
menginginkannya. Menginginkan perpisahannya dengan suami. Suami yang telah
membuatnya berdarah. Bahkan sebelum mensturasi pertamanya. Setelah kurang lebih
dua bulan menjadi istri seorang yang
bekerja sebagai pengantar barang yang membawakan paket kemana-mana dengan
sepeda motornya.
Sebelas anak menghiasi rumah kecil di daerah Khardji, yang
tidak jauh dari Hajja kota penting di barat laut Yaman, di sebelah utara
Sana’a. Yang bisa dicapai selama empat jam perjalanan melalui jalan aspal, dan
ditambah empat jam lagi melalui pasir dan puing-puing. Belum lagi Shoya, dan
Aba-Sapaan ayah di Yaman-.
Disana, wanita tak boleh menentukan nasib mereka. Kepala
keluarga atau anak laki-lakilah yang berhak berpendapat dan mengambil
keputusan. Karena itu jugalah Omma-sapaan ibu di Yaman- menurut ketika Aba
memutuskan menikah lagi dengan Dowla.
Dengan tradisi itu juga yang membuatnya tak mempunyai
pilihan ketika Ali Mohhammad al-Ahdel, ayahnya menikahkannya dengan Faez Ali
Thamer. Dengan dalih melindunginya dan diilhami kisah Nabi Muhammad yang
menikahi Aisyah yang berusia sembilan tahun. Setelah menikahkan Mona, kakaknya
di usia belia juga.
“Ayo Nujood! Memang
benar kau hanya gadis kecil, tapi kau juga seorang wanita, dalam arti
sebenarnya, meskipun kau masih sulit menerima itu” dalam hati ia berbicara.
Menyemangati diri sendiri, mengumpulkan keberanian, dan melangkah lebih yakin.
Setelah sekian lama mencari hakim, dan semakin bingung di tengah lautan manusia
yang belum pernah ditemuinya sebelumnya.
Ia memasuki ruangan berlapis karpet cokelat, penuh orang.
Suasananya begitu riuh, tetapi menenteramkan. Ia merasa aman. Kemudian ia
tertidur dalam waktu yang lama, sampai orang yang ingin ditemuinya
membangunkannya. Hakim.
Ia adalah Nujood. Nujood, gadis belia yang masih berusia
hampir sepuluh tahun menurut perkiraan Omma. Gadis periang yang mencintai air
dan lautan. Gadis penuh tanda tanya dan rasa optimis yang tinggi. Gadis yang
menginspirasi dunia dengan keberaniannya.Gadis yang mendapat predikat “Woman of
the Year” dari majalah perempuan Glamour produksi Amerika Serikat pada
akhir 2008.
Kondisi psikologisnya jelas
terganggu dengan pernikahan muda-nya ini. Halusinasi dan ketakutan
berlebih sering ia tunjukkan di saat yang tidak tepat. Ia bahkan berjanji untuk
tidak akan menikah lagi. Ia juga berjanji akan membela gadis-gadis lain dengan
bercita-cita sebagai pengacara. Seperdi Shada, pengacara dan ibu kedua baginya.
Buku setebal 227 halaman ini mengisahkan sosok Nujood dengan
sangat hidup. Kisah ini sendiri ditulisnya sendiri bersama Delphine Minoui,
seorang jurnalis asal Prancis yang bekerja di Iran dan Timur Tengah sejak 1997.
Delphine sendiri telah menulis buku Les
Pintades a Teheran, dengan tema yang mirip yaitu kehidupan para perempuan
di Iran yang kebebasannya terkungkung.
Bahasa yang dipakai dalam buku ini tegas dan lantang.
Mengesankan sifat berani dan siap menanggung resiko. Kisah nyata ini juga
mengundang perhatian dunia bukan semata dengan perceraiannya. Tapi lebih karena
keberaniannya “bicara”. Bicara mengenai ketidakadilan dan diskriminasi
perempuan. Bicara tentang benar dan salah.
Tulisan pertamanya ini ia dedikasikan untuk Arwa, Rym, dan
semua gadis kecil Yaman yang memimpikan kebebasan. Karena jutaan gadis kecil
juga mengalaminya. Diakhir buku, penulis mengajak berdiskusi mengenai
catatan-catatan yang dinilai kontroversi. Membiarkan pembaca terbuai dengan
kebebasan berpikir mengenai apa dan bagaimana kisah ini ditanggapi.
Langganan:
Postingan (Atom)