“Aku hanya gadis desa
yang lugu dan sederhana.. Aku menuruti semua perintah ayah dan kakak-kakak
lelakiku. Dari dulu aku belajar mengatakan ya kepada apa saja. Hari ini, aku
memutuskan berkata tidak.” –Nujood Ali
Dengan pasti ia melangkahkan kakinya menuju sebuah
pengadilan, yang dipikirnya tempat yang tenang, bersih, rumah besar
berlangsungnya kebaikan mengalahkan kejahatan, tempat dimana bisa memperbaiki semua masalah di dunia.
Hanya satu yang dia inginkan. Perceraian. Ya perceraian.
Meski ia tidak tahu betul apa arti dari perceraian tapi ia
menginginkannya. Menginginkan perpisahannya dengan suami. Suami yang telah
membuatnya berdarah. Bahkan sebelum mensturasi pertamanya. Setelah kurang lebih
dua bulan menjadi istri seorang yang
bekerja sebagai pengantar barang yang membawakan paket kemana-mana dengan
sepeda motornya.
Sebelas anak menghiasi rumah kecil di daerah Khardji, yang
tidak jauh dari Hajja kota penting di barat laut Yaman, di sebelah utara
Sana’a. Yang bisa dicapai selama empat jam perjalanan melalui jalan aspal, dan
ditambah empat jam lagi melalui pasir dan puing-puing. Belum lagi Shoya, dan
Aba-Sapaan ayah di Yaman-.
Disana, wanita tak boleh menentukan nasib mereka. Kepala
keluarga atau anak laki-lakilah yang berhak berpendapat dan mengambil
keputusan. Karena itu jugalah Omma-sapaan ibu di Yaman- menurut ketika Aba
memutuskan menikah lagi dengan Dowla.
Dengan tradisi itu juga yang membuatnya tak mempunyai
pilihan ketika Ali Mohhammad al-Ahdel, ayahnya menikahkannya dengan Faez Ali
Thamer. Dengan dalih melindunginya dan diilhami kisah Nabi Muhammad yang
menikahi Aisyah yang berusia sembilan tahun. Setelah menikahkan Mona, kakaknya
di usia belia juga.
“Ayo Nujood! Memang
benar kau hanya gadis kecil, tapi kau juga seorang wanita, dalam arti
sebenarnya, meskipun kau masih sulit menerima itu” dalam hati ia berbicara.
Menyemangati diri sendiri, mengumpulkan keberanian, dan melangkah lebih yakin.
Setelah sekian lama mencari hakim, dan semakin bingung di tengah lautan manusia
yang belum pernah ditemuinya sebelumnya.
Ia memasuki ruangan berlapis karpet cokelat, penuh orang.
Suasananya begitu riuh, tetapi menenteramkan. Ia merasa aman. Kemudian ia
tertidur dalam waktu yang lama, sampai orang yang ingin ditemuinya
membangunkannya. Hakim.
Ia adalah Nujood. Nujood, gadis belia yang masih berusia
hampir sepuluh tahun menurut perkiraan Omma. Gadis periang yang mencintai air
dan lautan. Gadis penuh tanda tanya dan rasa optimis yang tinggi. Gadis yang
menginspirasi dunia dengan keberaniannya.Gadis yang mendapat predikat “Woman of
the Year” dari majalah perempuan Glamour produksi Amerika Serikat pada
akhir 2008.
Kondisi psikologisnya jelas
terganggu dengan pernikahan muda-nya ini. Halusinasi dan ketakutan
berlebih sering ia tunjukkan di saat yang tidak tepat. Ia bahkan berjanji untuk
tidak akan menikah lagi. Ia juga berjanji akan membela gadis-gadis lain dengan
bercita-cita sebagai pengacara. Seperdi Shada, pengacara dan ibu kedua baginya.
Buku setebal 227 halaman ini mengisahkan sosok Nujood dengan
sangat hidup. Kisah ini sendiri ditulisnya sendiri bersama Delphine Minoui,
seorang jurnalis asal Prancis yang bekerja di Iran dan Timur Tengah sejak 1997.
Delphine sendiri telah menulis buku Les
Pintades a Teheran, dengan tema yang mirip yaitu kehidupan para perempuan
di Iran yang kebebasannya terkungkung.
Bahasa yang dipakai dalam buku ini tegas dan lantang.
Mengesankan sifat berani dan siap menanggung resiko. Kisah nyata ini juga
mengundang perhatian dunia bukan semata dengan perceraiannya. Tapi lebih karena
keberaniannya “bicara”. Bicara mengenai ketidakadilan dan diskriminasi
perempuan. Bicara tentang benar dan salah.
Tulisan pertamanya ini ia dedikasikan untuk Arwa, Rym, dan
semua gadis kecil Yaman yang memimpikan kebebasan. Karena jutaan gadis kecil
juga mengalaminya. Diakhir buku, penulis mengajak berdiskusi mengenai
catatan-catatan yang dinilai kontroversi. Membiarkan pembaca terbuai dengan
kebebasan berpikir mengenai apa dan bagaimana kisah ini ditanggapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar