Kamis, 11 April 2013

Eka Prahadian Abdurahman: Perjalanan Ribuan Kilometer Dimulai dari Langkah Pertama

Meski ia tak ada merasakan hal yang luar biasa saat pertama kali mencoba ganja, ia tetap melakukannya lagi dan lagi. Masa putih abu-abu bahkan menjadi kunci gerbang menuju kenikmatan semu lainnya. Hingga ia menemukan satu titik dilembar kehidupannya yang baru. Untuk mempunyai arti bagi semua orang.


Bangunan berwarna kuning pudar hampir cokelat itu tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang sedang berbincang. Posisi bangunan itu berada di JalanSei Asahan Medan. Langkah saya terhenti dan mulai bertanya, apakah saya bisa menemukan seseorang mantan pecandu narkoba? Judea Samosir, Koordinator Case ManagerCaritas PSE Medan menyebutkan satu nama. Mas Ewok. Mungkin begitu mereka menyapanya. “Dia dulunya mantan pecandu, dan sekarang udah jadi ManajerProjectdisini (Rumah Singgah Caritas-red). Dia sekarang udah mapan dengan segala yang dilakukannya. Menolong orang lain.


Eka Prahadian Abdurahman.  Ayah dan Ibunya bercerai saat ia berusia dua tahun. Hal ini membuat Eka harus tinggal secara nomaden semenjak duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Kadang di rumah Ibu, di rumah Ayah atau ke rumah nenek dari pihak Ibu. 


Keluarga ayahnya beragama Kristen. Saat natal setiap tahun tiba, biasanya akan ada pesta di rumah. Ayah, kakek, paman, dan banyak keluarganya yang lain biasanya minum-minum alkohol, keluarganya memang alkoholic.


Sesekali, saat tak ada yang melihat diam-diam ia menenggak alkohol yang ada dirumahnya. Hal ini biasa ia lakukan dan berulang kali. “Sepupu saya umurnya udah kuliahan waktu itu, jadi nggak ada teman seumuran kalau dikeluarga. Mereka (Sepupu-red) yang awalnya mengajari saya minum,” kata lelaki yang akrab disapa Mas Ewok ini. Sejak menginjak usia ke delapan tahun ia terbiasa minum alkohol. 


Saat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia sudah menetap tinggal bersama neneknya, hanya terbiasa minum alkohol ia mulai mencoba yang lebih lagi. Memiliki teman dan lingkungan yang kurang sehat membuatnya terlalu gampang berkenalan dengan obat-obatan terlarang.


“Rumah nenek saya itu dekat dengan pangkalan ojek, terminal, juga komplek Perwira AD. Jadi saya sudah terbiasa dengan kehidupan pasar dengan pertemanan anak-anak perwira yang saat itu dianggap sangat berkuasa,” ujar pria kelahiran Bandung, 23 Juni 1982 ini.


Saat mencoba untuk bergabung dengan teman dan lingkungan sekitar, ia disambut dengan ganja. Iseng, saat itu ia hanya iseng dan ingin tahu rasa ganja. Hingga akhirnya, nyimeng-menggunakan ganja- menjadi ritual yang sering dilakukan bersama teman-temannya saat SMP. Anehnya dia masih menganggap rokok itu sebagai barang haram. “Saat itu saya masih menganggap rokok bisa merusak paru-paru, dan mengganggu kesehatan. Hingga SMA saya baru nyoba ngerokok,” tuturnya sambil tertawa kecil.


Tak hanya nyimeng, ternyata ia juga memiliki komunitas balapan liar, dan tempat tongkrongan untuk minum-minum alkohol. Itu sudah umum dilakukan dilingkungan tempat tinggalnya. Semua hal yang dilakukannya ini seakan tak berujung. Karena tak ada keluarga yang melarangnya. Disinilah tahapan dimana ia memilih keluar dan hidup sendiri. Ia tinggal di sebuah kamar kos. Namun ia masih tetap menjalin hubungan dengan keluarganya. “Walaupun aku udah nggak tinggal dirumah lagi, mama tetap ngirimin uang bulanan kok. Tapi nggak pernah cukup untuk hidup. Apalagi makeitukan butuh biaya mahal juga,” ungkapnya.


Saat ia bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 5 Cimahi, inilah puncak pengembaraannya pada dunia obat-obatan terlarang. Dengan menggunakan obat-obatan terlarang, ia merasa diterima oleh komunitasnya. Komunitas yang dipenuhi “orang-orang sakit” kata masyarakat umum. Kelas dua SMA ia semakin menjadi karena setiap hari ia harus menggunakan drugs, lagi dan lagi. Berlanjut hingga ia masuk ke salah satu perguruan tinggi.Tentunya uang adalah hal yang sangat ia perlukan untuk membeli barang-barang tersebut. Berbagai cara ia lakukan untuk memperoleh uang. 


Mulai dari menggunakan uang yang diberikan oleh orang tua, mencari seribu alasan demi uang, menjual barang-barangyang ada, mencuri, memeras bahkan merampok. Tindak kriminal itu pernah semua ia lakukan. 


Merampok dan memeras tak ia lakukan sendiri. Bersama temannya yang preman-preman dan anak-anak Perwira Angkatan Darat (AD) , dia beraksi. “Teman-temanku banyak yang memiliki senjata api milik orang tua mereka. Sama sekali tak ada rasa takut, malah merasa terlindungi dengan jabatan orang tua mereka,” katanya dengan logat khas sunda. 


Pernah ia dan teman-temannya tertangkap polisi saat beraksi merampok motor, alhasil mereka digiring ke kantor polisi, mendekam selama sehari lalu keluar lagi. Begitu juga saat mereka digrebek sedang menggunakan obat-obatan terlarang. Masuk sehari lalu langsung keluar. Ditangkap polisi tak membuatnya jera sama sekali. ”Kan ada orang tua teman-teman saya, jadi gampang keluarnya,” ujar laki-laki dengan rambut plontos ini.


Hal terburuk dalam hidupnya adalah memasuki kelas dua SMA hingga semester lima saat kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota kelahirannya, Bandung. “Udah gak punya duit, dari keluarga jauh, temen banyak yang OD (Over Dosis-red), barang-barang pada hilang, kuliah putus,” katanya. Masa-masa hit the bottom inilah yang membuatnya merasa hancur dan terpukul.


Awalnya ada temannya-seorang mantan pecandu- mendekati secara intens saat di tempat tongkrongannya. Tujuannya satu, yaitu mengajak Ewok pulih. “Dia datang, tapi nggak menggurui. Tapi dia mendekati secara personal, Orang make itu ada titik jenuhnya juga. Cuma pengen ritualnya aja,” katanya. Ia mulai gundah dan tersentuh.


Just for today” menjadi semboyannya saat mencoba pulih dari narkoba. Pasang badan pun menjadi pilihan saat sakaw. Mau tidak mau memang harus begitu. “Tidak harus saat itu juga berhenti, ada tahapan-tahapannya. Makanya saya hanya memikirkan hidup untuk hari itu saja dulu. Syukur kalau saya bisa melewati satu hari tanpa make,” katanya.


Sejak tahun 2001, ia mulai mengikuti training korps dasar relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dan belajar di pesantren. Hingga, 17 Juli 2001 ia berhenti total menggunakan narkoba hingga hari ini. “Di training PMI semua kegiatan sehari-hari terjadwal. Jadi gak ada waktu untuk memikirkan narkoba lagi,” ujar Ewok.


Ia mengaku tak pernah menyesal dengan masa lalunya. “Kalo keputusan udah kita ambil jangan pernah menyesal, baik buruk, toh kita yang ngelakuin. Yang paling menyesal itu,hanya waktu kuliahku putus,” kata pria berdarah Sunda ini.


Akhirnya, keluarganya tahu bahwa ia pengguna narkoba setelah ada artikel sebuah surat kabar kota Bandung mengangkat sosoknya sebagai relawan narkoba dalam memperingatai World Aids Day dan Hari Narkoba Nasional pada tahun 2002 dimana ia sebagai mantan pengguna narkoba. “Reaksi keluarga saya ya biasa saja. Keluarga saya berprinsip kalau sudah terjadi yasudahlah, yang penting ada niat baik untuk berubah,” ungkapnya.


Saat ini ia menggeluti dunia relawan adiksi narkoba dan dampak buruknya. Semua diawali saat tahun 2004 mengikuti training dari UNICEF dan YAKITA untuk menjadi pendidik sebaya korban adiksi narkoba, dan ia terpilih bersama sembilan orang lainnya dari 25 orang yang ikut training.


Ia hijrah ke Pulau Sumatera pada tahun 2005 saat bekerja di Aceh pada International Committe Red Cross (ICRC) untuk bencana Tsunami. Ia pun diminta UNICEF dan YAKITA menyediakan program bagi anak muda dia Aceh dan berjalan hingga sekarang, yaitu Rumah Singgah dan Panti Rehabilitasi “Rumoh Geutanyo”.


Saat mengikuti konferensi Internasional AIDS Asia Pasifik di Bali pada mei 2009, ia juga ditawari menyediakan rumah singgah di Medan oleh Caritas Jerman. Dari Desember 2009 hingga sekarang ia menjabat sebagai Project Manajer Bidang Narkoba dan HIV pada Caritas PSE Medan. Hingga tak jarang ia mengikuti berbagai pelatihan dan konfrensi mengenai narkoba dan HIV/AIDS di berbagai negara di dunia.  “Kebahagiaan yang hakiki bukan dengan melayani diri sendiri, tapi dengan melayani orang banyak,” tutupnya.

 

Tulisan ini sudah dipublikasikan di www.sosokindonesia.com
http://www.sosokindonesia.com/2013/04/eka-prahadian-perjalanan-ribuan.html
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar