Meski
ia tak ada merasakan hal yang luar biasa saat pertama kali mencoba ganja, ia
tetap melakukannya lagi dan lagi. Masa putih abu-abu bahkan menjadi kunci
gerbang menuju kenikmatan semu lainnya. Hingga ia menemukan satu titik dilembar
kehidupannya yang baru. Untuk mempunyai arti bagi semua orang.

Bangunan berwarna kuning pudar hampir
cokelat itu tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang sedang berbincang.
Posisi bangunan itu berada di JalanSei Asahan Medan. Langkah saya terhenti dan
mulai bertanya, apakah saya bisa menemukan seseorang mantan pecandu narkoba?
Judea Samosir, Koordinator Case ManagerCaritas
PSE Medan menyebutkan satu nama. Mas Ewok. Mungkin begitu mereka menyapanya. “Dia
dulunya mantan pecandu, dan sekarang udah jadi ManajerProjectdisini (Rumah Singgah Caritas-red). Dia sekarang udah mapan dengan segala yang dilakukannya. Menolong
orang lain.
Eka Prahadian Abdurahman. Ayah dan Ibunya bercerai saat ia berusia dua
tahun. Hal ini membuat Eka harus tinggal secara nomaden semenjak duduk dibangku
Sekolah Dasar (SD). Kadang di rumah Ibu, di rumah Ayah atau ke rumah nenek dari
pihak Ibu.
Keluarga ayahnya beragama Kristen.
Saat natal setiap tahun tiba, biasanya akan ada pesta di rumah. Ayah, kakek,
paman, dan banyak keluarganya yang lain biasanya minum-minum alkohol,
keluarganya memang alkoholic.
Sesekali, saat tak ada yang melihat
diam-diam ia menenggak alkohol yang ada dirumahnya. Hal ini biasa ia lakukan
dan berulang kali. “Sepupu saya umurnya udah kuliahan waktu itu, jadi nggak ada
teman seumuran kalau dikeluarga. Mereka (Sepupu-red) yang awalnya mengajari
saya minum,” kata lelaki yang akrab disapa Mas Ewok ini. Sejak menginjak usia
ke delapan tahun ia terbiasa minum alkohol.
Saat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia
sudah menetap tinggal bersama neneknya, hanya terbiasa minum alkohol ia mulai
mencoba yang lebih lagi. Memiliki teman dan lingkungan yang kurang sehat
membuatnya terlalu gampang berkenalan dengan obat-obatan terlarang.
“Rumah nenek saya itu dekat dengan
pangkalan ojek, terminal, juga komplek Perwira AD. Jadi saya sudah terbiasa
dengan kehidupan pasar dengan pertemanan anak-anak perwira yang saat itu
dianggap sangat berkuasa,” ujar pria kelahiran Bandung, 23 Juni 1982 ini.
Saat mencoba untuk bergabung dengan
teman dan lingkungan sekitar, ia disambut dengan ganja. Iseng, saat itu ia
hanya iseng dan ingin tahu rasa ganja. Hingga akhirnya, nyimeng-menggunakan ganja- menjadi ritual yang sering dilakukan
bersama teman-temannya saat SMP. Anehnya dia masih menganggap rokok itu sebagai
barang haram. “Saat itu saya masih menganggap rokok bisa merusak paru-paru, dan
mengganggu kesehatan. Hingga SMA saya baru nyoba
ngerokok,” tuturnya sambil tertawa kecil.
Tak hanya nyimeng, ternyata ia juga memiliki komunitas balapan liar, dan
tempat tongkrongan untuk minum-minum alkohol. Itu sudah umum dilakukan
dilingkungan tempat tinggalnya. Semua hal yang dilakukannya ini seakan tak
berujung. Karena tak ada keluarga yang melarangnya. Disinilah tahapan dimana ia
memilih keluar dan hidup sendiri. Ia tinggal di sebuah kamar kos. Namun ia
masih tetap menjalin hubungan dengan keluarganya. “Walaupun aku udah nggak
tinggal dirumah lagi, mama tetap ngirimin uang bulanan kok. Tapi nggak pernah
cukup untuk hidup. Apalagi makeitukan
butuh biaya mahal juga,” ungkapnya.
Saat ia bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 5 Cimahi, inilah puncak
pengembaraannya pada dunia obat-obatan terlarang. Dengan menggunakan
obat-obatan terlarang, ia merasa diterima oleh komunitasnya. Komunitas yang
dipenuhi “orang-orang sakit” kata masyarakat umum. Kelas dua SMA ia semakin
menjadi karena setiap hari ia harus menggunakan drugs, lagi dan lagi. Berlanjut hingga ia masuk ke salah satu
perguruan tinggi.Tentunya uang adalah hal yang sangat ia perlukan untuk membeli
barang-barang tersebut. Berbagai cara ia lakukan untuk memperoleh uang.
Mulai dari menggunakan uang yang
diberikan oleh orang tua, mencari seribu alasan demi uang, menjual
barang-barangyang ada, mencuri, memeras bahkan merampok. Tindak kriminal itu
pernah semua ia lakukan.
Merampok dan memeras tak ia lakukan
sendiri. Bersama temannya yang preman-preman
dan anak-anak Perwira Angkatan Darat (AD) , dia beraksi. “Teman-temanku banyak
yang memiliki senjata api milik orang tua mereka. Sama sekali tak ada rasa
takut, malah merasa terlindungi dengan jabatan orang tua mereka,” katanya
dengan logat khas sunda.
Pernah ia dan teman-temannya
tertangkap polisi saat beraksi merampok motor, alhasil mereka digiring ke
kantor polisi, mendekam selama sehari lalu keluar lagi. Begitu juga saat mereka
digrebek sedang menggunakan obat-obatan terlarang. Masuk sehari lalu langsung
keluar. Ditangkap polisi tak membuatnya jera sama sekali. ”Kan ada orang tua
teman-teman saya, jadi gampang keluarnya,” ujar laki-laki dengan rambut plontos
ini.
Hal terburuk dalam hidupnya adalah memasuki
kelas dua SMA hingga semester lima saat kuliah di salah satu perguruan tinggi
swasta di kota kelahirannya, Bandung. “Udah gak punya duit, dari keluarga jauh,
temen banyak yang OD (Over Dosis-red),
barang-barang pada hilang, kuliah putus,” katanya. Masa-masa hit the bottom inilah yang membuatnya
merasa hancur dan terpukul.
Awalnya ada temannya-seorang mantan
pecandu- mendekati secara intens saat di tempat tongkrongannya. Tujuannya satu,
yaitu mengajak Ewok pulih. “Dia datang, tapi nggak menggurui. Tapi dia
mendekati secara personal, Orang make
itu ada titik jenuhnya juga. Cuma pengen ritualnya aja,” katanya. Ia mulai
gundah dan tersentuh.
“Just
for today” menjadi semboyannya saat mencoba pulih dari narkoba. Pasang
badan pun menjadi pilihan saat sakaw. Mau tidak mau memang harus begitu. “Tidak
harus saat itu juga berhenti, ada tahapan-tahapannya. Makanya saya hanya
memikirkan hidup untuk hari itu saja dulu. Syukur kalau saya bisa melewati satu
hari tanpa make,” katanya.
Sejak tahun 2001, ia mulai mengikuti training korps dasar relawan Palang Merah
Indonesia (PMI) dan belajar di pesantren. Hingga, 17 Juli 2001 ia berhenti
total menggunakan narkoba hingga hari ini. “Di training PMI semua kegiatan sehari-hari terjadwal. Jadi gak ada
waktu untuk memikirkan narkoba lagi,” ujar Ewok.
Ia mengaku tak pernah menyesal dengan
masa lalunya. “Kalo keputusan udah kita ambil jangan pernah menyesal, baik
buruk, toh kita yang ngelakuin. Yang
paling menyesal itu,hanya waktu kuliahku putus,” kata pria berdarah Sunda ini.
Akhirnya, keluarganya tahu bahwa ia
pengguna narkoba setelah ada artikel sebuah surat kabar kota Bandung mengangkat
sosoknya sebagai relawan narkoba dalam memperingatai World Aids Day dan Hari
Narkoba Nasional pada tahun 2002 dimana ia sebagai mantan pengguna narkoba.
“Reaksi keluarga saya ya biasa saja. Keluarga saya berprinsip kalau sudah
terjadi yasudahlah, yang penting ada niat baik untuk berubah,” ungkapnya.
Saat ini ia menggeluti dunia relawan
adiksi narkoba dan dampak buruknya. Semua diawali saat tahun 2004 mengikuti
training dari UNICEF dan YAKITA untuk menjadi pendidik sebaya korban adiksi
narkoba, dan ia terpilih bersama sembilan orang lainnya dari 25 orang yang ikut
training.
Ia hijrah ke Pulau Sumatera pada tahun
2005 saat bekerja di Aceh pada International Committe Red Cross (ICRC) untuk
bencana Tsunami. Ia pun diminta UNICEF dan YAKITA menyediakan program bagi anak
muda dia Aceh dan berjalan hingga sekarang, yaitu Rumah Singgah dan Panti
Rehabilitasi “Rumoh Geutanyo”.
Saat mengikuti konferensi
Internasional AIDS Asia Pasifik di Bali pada mei 2009, ia juga ditawari
menyediakan rumah singgah di Medan oleh Caritas Jerman. Dari Desember 2009 hingga
sekarang ia menjabat sebagai Project Manajer Bidang Narkoba dan HIV pada
Caritas PSE Medan. Hingga tak jarang ia mengikuti berbagai pelatihan dan
konfrensi mengenai narkoba dan HIV/AIDS di berbagai negara di dunia. “Kebahagiaan yang hakiki bukan dengan
melayani diri sendiri, tapi dengan melayani orang banyak,” tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar