Senin, 08 April 2013
86 : Tahu Sama Tahu
Apa
yang saya pikirkan mungkin sama dengan yang anda pikirkan. 86-lapan enam-
adalah istilah kepolisian yang memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami.
Istilah inipun mencuat kepermukaan, hingga sekarang maknanya “beres bersyarat”.
Tahu sama tahu. Isu sosial inilah yang membuat Okky Madasari mengangkat isu 86
dalam bukunya yang berjudul sama.
Arimbi,
seorang anak petani asal Ponorogo.Berprofesi sebagai juru ketik dan tukang
fotokopi di sebuah pengadilan negeri di Jakarta. Ia tinggal di sebuah gang sempit yang lumayan jauh
dari kantornya. Hanya berjalan kaki sekitar lima menit menuju simpang jalan
besar Mampang, kemudian menaiki Kopaja sekitar dua puluh menit saat jam macet
menuju kantor.
Gang
tempatnya tinggal penuh sesak dan keringat ketika pagi dan sore menjelang. Bagaimana
tidak, disanalah buruh-buruh pabrik dan pegawai-pegawai rendahan tinggal.Mereka
mengawali hari dengan keburu-buruan, begitu pula mengakhiri rutinitas dengan
hal yang serupa.Alasan utamanya memilih rumah kontrakan
iniadalah harga. Ada harga ada pula
kualitas. Rumah ini hanya bisa diisi sebuah kasur, kamar mandi, dan sebuah
dapur kecil disampingnya.
Awalnya ia bekerja normal tanpa embel-embel 86. Sama seperti ketika ia melamar pekerjaan tanpa harus bayar danditerima menjadi
Pegawai Negeri Sipil. Mungkin nasib. Ya
nasib jugalah
yang sedang berpihak padanya ketika
sebuah AC (air conditioner) tiba
dirumah kecilnya suatu malam. Setelah empat
tahun menjadi juru ketik, baru kali inilah ia dikagetkan pemberian orang.
Berawal dari AC
yg datang secara “tiba-tiba”, menjadi pintu gerbang ia menemui "AC-AC lainnya". Mempunyai penampilan menarik, memiliki
rumah pribadi, dan hidup bahagia menjadi impian semua orang. Tak terkecuali
Arimbi.Arimbi secara tak sadartelah memasuki
tahap lupa diri. Awalnya, ia dengan sukarela mengetik semua berkas-berkas
persidangan yang akan disidang. Sekarang semuanya bisa beres asal ada pelicin. Dengan 86 semua urusan beres.
Saya
rasa, hal seperti inilah yang membuat KPK hingga saat ini masih sulit
mengungkap banyak kasus korupsi. Apalagi dengan adanya istilah 86 ini. Siapa
sangka juru ketik saja bisa masuk
penjara? Setelah masuk penjara pun ia tetap lupa diri.
Didalam
penjara, ia menyukai sesama tahanan wanita, dan memulai 86 lain. Ia bergabung
dengan jaringan produsen sabu-sabu terbesar di Indonesia. Mungkin karena
didukung Ananta, suaminya.Suaminya turut menjadi kurir diluar penjara,
sementara ia masih mendekam dalam penjara.
Sebenarnya
mereka melakukan hal ini demi ibu Arimbi yang sakit ginjal. Dimana membutuhkan
biaya satu juta per-minggu untuk cuci darah. Sampai pada suatu hari ibunya
meninggal. Ya yang namanya manusia, mereka juga tak pernah puas. Setelah keluar
dari penjara pun, mereka masih melakoni profesi sampingannya sebagai kurir
sabu-sabu. Hingga suatu hari mereka menemui “ajalnya”.
Dibukunya
yang lain Okky juga mengangkat isu
kemanusiaan
yang berjudul Entrok dan Maryam. Sepertinya,
Okky memang fokus mengangkat isu-isu yang menyangkut idealisme, pluralisme,
kaum minoritas, hingga korupsi. Ia juga selalu mengangkat tokoh perempuan
disetiap bukunya. Okky menyajikan cerita ini mengalir dan mudah dimengerti.
Didukung dengan deskripsi yang jelas. Barangkali karena ia pernah menjadi
wartawan untuk kasus-kasus korupsi dan hukum. Sama seperti kita memahami
lokasi-lokasi kejadian dalam cerita. Karena dihalaman awal buku disajikan peta
lokasi cerita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar