Selasa, 16 Juli 2013

Kosong

 

 

Lihatlah dirimu kapten, betapa kosongnya kau!


Ini tau?

Kalo itu?

Nah, yang ini?


Enggak kan?

nggak tau kan!!


Memang semua butuh proses, Kapten!

Proses panjang menuju peraduan nantinya//

Senin, 15 Juli 2013

Sepucuk Senyum Buat Ibu

Salam hangat teruntuk yang tersayang

Ibu,

Ditempat terindah,

Rumah yang abadi

Selamat setiap sapa, Bu..

Pagi, siang, sore, malam, dan subuh

Semoga ibu dalam keadaan baik dan tersenyum

Jika hati merindu, senyum ibu menjadi pelipur lara

Sampaikan salamku juga buat Ayah, Nenek, juga Kakek ya Bu

Ibu pasti sudah tahu apa yang akan aku ungkapkan ini

Tapi Ibu tahu kan kalau aku lebih suka kalau Ibu dengar langsung dariku?

Begini Bu...

Saat ini hatiku sangat gembira

Meski Ibu sudah tahu aku tetap akan mengungkapkannya

Ibu bisa lihat dari gambar yang aku buat di kertas ini

Bercahaya bukan?

Penuh warna cerah dan menawan

Semuanya warna kesukaan ibu loh..

Kata ibu semua warna itu indah bukan?

Karna tanpa warna hidup bakal kelam dan kelabu

Ahh, semakin membuatku merindu padamu Bu!

Mungkin hanya ini yang aku sampaikan di suratku yang semakin menumpuk

Semoga ibu tak lelah membaca dan mengeja setiap warna dan kataku ya Bu!

Karena sudah pasti ibu tahu bahwa aku sangat merindu ibu dalam senyum

Kecup rindu teruntuk ibu di Rumah Bapa,

Anakmu, yang selalu mengirimkan sepucuk senyum buat Ibu

 

Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co

http://www.suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1825:sepucuk-senyum-buat-ibu&catid=48:puisi&Itemid=67 

Katanya (Maha) Siswa

Katanya hampir sama dengan Maha Esa

Katanya agen perubahan

Katanya pengawas kebijakan pemerintah

Katanya maha, MAHASISWA

Bukankah seharusnya bertindak bijak dan rasional?

Trus, bukankah juga harus diskusi dan sedikit kongkow?

Nah, sekarang? Aku tak mau bilang sudah tak seperti itu lagi

Cuma, aku lihat apa yang ada di depan mata

Apa yang disajikan media untukku tentang (maha) siswa

Katanya sekarang sering aksi ke jalan

Katanya mereka bakar ban

Katanya kebanyakan sih kongkownya daripada aksi

Katanya mereka mulai lebih anarkis

Anarkis yang seperti apa?

Seperti 98?

Atau seperti 65?

Saat itu jelas dan ada hasil toh?

Ya, hasilnya seperti sekarang yang kita alami inilah

Budaya ke-mahasiswaan baru

Lebih pikir pendek dan sedikit kucuran makan siang

Aku semakin tak tahu apa yang seharusnya dilakukan

Setidaknya aku sudah tak tahu jalan pikiran mana yang harus kupilih

Memilih bergabung dengan mereka ((maha)siswa)?

Atau menjadi aku yang tetap menjadi aku

 

 

Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co

http://www.suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1695:katanya-maha-siswa&catid=48:puisi&Itemid=67 

Jumat, 03 Mei 2013

Rintik Tak Mau Pergi

Berjalan menyusuri rintik-rintik kecil
Menapaki jejak demi jejak
Mengenang duka dalam duka
Bahkan suka dalam duka



Terdiam!
Membisu dalam keramaian
Seakan sendiri ditengah dunia yang penuh sesak ini
Mencakar hati seakan pilu sendiri


 
 
Jalan pikiran kusut seketika
Tak tahu juga penyebabnya
Mungkin ini yang terjadi, tapi mungkin juga itu
Tapi tak satupun


Satu, dua, sampai seribu pun mungkin belum
Belum mampu mematahkan
Belum mampu menguatkan
Belum mampu menyelesaikan



Entah apa mulanya
Jangan sampai terlalu lama
Penuh rasa curiga dan terkujur lemah
Entah kapan pula akhirnya



Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1401:rintik-tak-mau-pergi&catid=48:puisi&Itemid=67 

Aku Ingin

Aku ingin lepas, lepas dari segala yang sedang terjadi
Aku ingin bebas, bebas dari segala jeratan liku
Aku ingin tebas, menebas kegalauan yang kian menerpa


 Aku, ya aku ingin
Aku ingin terbang bebas
Aku ingin terbang mengarungi luasnya khayal


Aku, ya aku ingin
Aku ingin mengasah tali yang membelenggu
Aku ingin pergi!

Aku, ya aku ingin
Aku ingin tidak ada lagi aku
Aku ingin tenang tanpa aku

 

Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1661:aku-ingin-lepas-lepas-dari-segala-yang-sedang-terjadi&catid=48:puisi&Itemid=67 

Kamis, 11 April 2013

Eka Prahadian Abdurahman: Perjalanan Ribuan Kilometer Dimulai dari Langkah Pertama

Meski ia tak ada merasakan hal yang luar biasa saat pertama kali mencoba ganja, ia tetap melakukannya lagi dan lagi. Masa putih abu-abu bahkan menjadi kunci gerbang menuju kenikmatan semu lainnya. Hingga ia menemukan satu titik dilembar kehidupannya yang baru. Untuk mempunyai arti bagi semua orang.


Bangunan berwarna kuning pudar hampir cokelat itu tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang sedang berbincang. Posisi bangunan itu berada di JalanSei Asahan Medan. Langkah saya terhenti dan mulai bertanya, apakah saya bisa menemukan seseorang mantan pecandu narkoba? Judea Samosir, Koordinator Case ManagerCaritas PSE Medan menyebutkan satu nama. Mas Ewok. Mungkin begitu mereka menyapanya. “Dia dulunya mantan pecandu, dan sekarang udah jadi ManajerProjectdisini (Rumah Singgah Caritas-red). Dia sekarang udah mapan dengan segala yang dilakukannya. Menolong orang lain.


Eka Prahadian Abdurahman.  Ayah dan Ibunya bercerai saat ia berusia dua tahun. Hal ini membuat Eka harus tinggal secara nomaden semenjak duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Kadang di rumah Ibu, di rumah Ayah atau ke rumah nenek dari pihak Ibu. 


Keluarga ayahnya beragama Kristen. Saat natal setiap tahun tiba, biasanya akan ada pesta di rumah. Ayah, kakek, paman, dan banyak keluarganya yang lain biasanya minum-minum alkohol, keluarganya memang alkoholic.


Sesekali, saat tak ada yang melihat diam-diam ia menenggak alkohol yang ada dirumahnya. Hal ini biasa ia lakukan dan berulang kali. “Sepupu saya umurnya udah kuliahan waktu itu, jadi nggak ada teman seumuran kalau dikeluarga. Mereka (Sepupu-red) yang awalnya mengajari saya minum,” kata lelaki yang akrab disapa Mas Ewok ini. Sejak menginjak usia ke delapan tahun ia terbiasa minum alkohol. 


Saat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia sudah menetap tinggal bersama neneknya, hanya terbiasa minum alkohol ia mulai mencoba yang lebih lagi. Memiliki teman dan lingkungan yang kurang sehat membuatnya terlalu gampang berkenalan dengan obat-obatan terlarang.


“Rumah nenek saya itu dekat dengan pangkalan ojek, terminal, juga komplek Perwira AD. Jadi saya sudah terbiasa dengan kehidupan pasar dengan pertemanan anak-anak perwira yang saat itu dianggap sangat berkuasa,” ujar pria kelahiran Bandung, 23 Juni 1982 ini.


Saat mencoba untuk bergabung dengan teman dan lingkungan sekitar, ia disambut dengan ganja. Iseng, saat itu ia hanya iseng dan ingin tahu rasa ganja. Hingga akhirnya, nyimeng-menggunakan ganja- menjadi ritual yang sering dilakukan bersama teman-temannya saat SMP. Anehnya dia masih menganggap rokok itu sebagai barang haram. “Saat itu saya masih menganggap rokok bisa merusak paru-paru, dan mengganggu kesehatan. Hingga SMA saya baru nyoba ngerokok,” tuturnya sambil tertawa kecil.


Tak hanya nyimeng, ternyata ia juga memiliki komunitas balapan liar, dan tempat tongkrongan untuk minum-minum alkohol. Itu sudah umum dilakukan dilingkungan tempat tinggalnya. Semua hal yang dilakukannya ini seakan tak berujung. Karena tak ada keluarga yang melarangnya. Disinilah tahapan dimana ia memilih keluar dan hidup sendiri. Ia tinggal di sebuah kamar kos. Namun ia masih tetap menjalin hubungan dengan keluarganya. “Walaupun aku udah nggak tinggal dirumah lagi, mama tetap ngirimin uang bulanan kok. Tapi nggak pernah cukup untuk hidup. Apalagi makeitukan butuh biaya mahal juga,” ungkapnya.


Saat ia bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 5 Cimahi, inilah puncak pengembaraannya pada dunia obat-obatan terlarang. Dengan menggunakan obat-obatan terlarang, ia merasa diterima oleh komunitasnya. Komunitas yang dipenuhi “orang-orang sakit” kata masyarakat umum. Kelas dua SMA ia semakin menjadi karena setiap hari ia harus menggunakan drugs, lagi dan lagi. Berlanjut hingga ia masuk ke salah satu perguruan tinggi.Tentunya uang adalah hal yang sangat ia perlukan untuk membeli barang-barang tersebut. Berbagai cara ia lakukan untuk memperoleh uang. 


Mulai dari menggunakan uang yang diberikan oleh orang tua, mencari seribu alasan demi uang, menjual barang-barangyang ada, mencuri, memeras bahkan merampok. Tindak kriminal itu pernah semua ia lakukan. 


Merampok dan memeras tak ia lakukan sendiri. Bersama temannya yang preman-preman dan anak-anak Perwira Angkatan Darat (AD) , dia beraksi. “Teman-temanku banyak yang memiliki senjata api milik orang tua mereka. Sama sekali tak ada rasa takut, malah merasa terlindungi dengan jabatan orang tua mereka,” katanya dengan logat khas sunda. 


Pernah ia dan teman-temannya tertangkap polisi saat beraksi merampok motor, alhasil mereka digiring ke kantor polisi, mendekam selama sehari lalu keluar lagi. Begitu juga saat mereka digrebek sedang menggunakan obat-obatan terlarang. Masuk sehari lalu langsung keluar. Ditangkap polisi tak membuatnya jera sama sekali. ”Kan ada orang tua teman-teman saya, jadi gampang keluarnya,” ujar laki-laki dengan rambut plontos ini.


Hal terburuk dalam hidupnya adalah memasuki kelas dua SMA hingga semester lima saat kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota kelahirannya, Bandung. “Udah gak punya duit, dari keluarga jauh, temen banyak yang OD (Over Dosis-red), barang-barang pada hilang, kuliah putus,” katanya. Masa-masa hit the bottom inilah yang membuatnya merasa hancur dan terpukul.


Awalnya ada temannya-seorang mantan pecandu- mendekati secara intens saat di tempat tongkrongannya. Tujuannya satu, yaitu mengajak Ewok pulih. “Dia datang, tapi nggak menggurui. Tapi dia mendekati secara personal, Orang make itu ada titik jenuhnya juga. Cuma pengen ritualnya aja,” katanya. Ia mulai gundah dan tersentuh.


Just for today” menjadi semboyannya saat mencoba pulih dari narkoba. Pasang badan pun menjadi pilihan saat sakaw. Mau tidak mau memang harus begitu. “Tidak harus saat itu juga berhenti, ada tahapan-tahapannya. Makanya saya hanya memikirkan hidup untuk hari itu saja dulu. Syukur kalau saya bisa melewati satu hari tanpa make,” katanya.


Sejak tahun 2001, ia mulai mengikuti training korps dasar relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dan belajar di pesantren. Hingga, 17 Juli 2001 ia berhenti total menggunakan narkoba hingga hari ini. “Di training PMI semua kegiatan sehari-hari terjadwal. Jadi gak ada waktu untuk memikirkan narkoba lagi,” ujar Ewok.


Ia mengaku tak pernah menyesal dengan masa lalunya. “Kalo keputusan udah kita ambil jangan pernah menyesal, baik buruk, toh kita yang ngelakuin. Yang paling menyesal itu,hanya waktu kuliahku putus,” kata pria berdarah Sunda ini.


Akhirnya, keluarganya tahu bahwa ia pengguna narkoba setelah ada artikel sebuah surat kabar kota Bandung mengangkat sosoknya sebagai relawan narkoba dalam memperingatai World Aids Day dan Hari Narkoba Nasional pada tahun 2002 dimana ia sebagai mantan pengguna narkoba. “Reaksi keluarga saya ya biasa saja. Keluarga saya berprinsip kalau sudah terjadi yasudahlah, yang penting ada niat baik untuk berubah,” ungkapnya.


Saat ini ia menggeluti dunia relawan adiksi narkoba dan dampak buruknya. Semua diawali saat tahun 2004 mengikuti training dari UNICEF dan YAKITA untuk menjadi pendidik sebaya korban adiksi narkoba, dan ia terpilih bersama sembilan orang lainnya dari 25 orang yang ikut training.


Ia hijrah ke Pulau Sumatera pada tahun 2005 saat bekerja di Aceh pada International Committe Red Cross (ICRC) untuk bencana Tsunami. Ia pun diminta UNICEF dan YAKITA menyediakan program bagi anak muda dia Aceh dan berjalan hingga sekarang, yaitu Rumah Singgah dan Panti Rehabilitasi “Rumoh Geutanyo”.


Saat mengikuti konferensi Internasional AIDS Asia Pasifik di Bali pada mei 2009, ia juga ditawari menyediakan rumah singgah di Medan oleh Caritas Jerman. Dari Desember 2009 hingga sekarang ia menjabat sebagai Project Manajer Bidang Narkoba dan HIV pada Caritas PSE Medan. Hingga tak jarang ia mengikuti berbagai pelatihan dan konfrensi mengenai narkoba dan HIV/AIDS di berbagai negara di dunia.  “Kebahagiaan yang hakiki bukan dengan melayani diri sendiri, tapi dengan melayani orang banyak,” tutupnya.

 

Tulisan ini sudah dipublikasikan di www.sosokindonesia.com
http://www.sosokindonesia.com/2013/04/eka-prahadian-perjalanan-ribuan.html
 

Senin, 08 April 2013

86 : Tahu Sama Tahu


“Membiasakan yang benar pastilah lebih nyaman daripada membenarkan yang biasa.”     

                    

Apa yang saya pikirkan mungkin sama dengan yang anda pikirkan. 86-lapan enam- adalah istilah kepolisian yang memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami. Istilah inipun mencuat kepermukaan, hingga sekarang maknanya “beres bersyarat”. Tahu sama tahu. Isu sosial inilah yang membuat Okky Madasari mengangkat isu 86 dalam bukunya yang berjudul sama.


Arimbi, seorang anak petani asal Ponorogo.Berprofesi sebagai juru ketik dan tukang fotokopi di sebuah pengadilan negeri di Jakarta. Ia tinggal di sebuah gang sempit yang lumayan jauh dari kantornya. Hanya berjalan kaki sekitar lima menit menuju simpang jalan besar Mampang, kemudian menaiki Kopaja sekitar dua puluh menit saat jam macet menuju kantor.


Gang tempatnya tinggal penuh sesak dan keringat ketika pagi dan sore menjelang. Bagaimana tidak, disanalah buruh-buruh pabrik dan pegawai-pegawai rendahan tinggal.Mereka mengawali hari dengan keburu-buruan, begitu pula mengakhiri rutinitas dengan hal yang serupa.Alasan utamanya memilih rumah kontrakan iniadalah harga. Ada harga ada pula kualitas. Rumah ini hanya bisa diisi sebuah kasur, kamar mandi, dan sebuah dapur kecil disampingnya.


Awalnya ia bekerja normal tanpa embel-embel 86. Sama seperti ketika ia melamar pekerjaan tanpa harus bayar danditerima menjadi Pegawai Negeri Sipil. Mungkin nasib. Ya nasib jugalah yang sedang berpihak padanya ketika sebuah AC (air conditioner) tiba dirumah kecilnya suatu malam. Setelah empat tahun menjadi juru ketik, baru kali inilah ia dikagetkan pemberian orang.


Berawal dari AC yg datang secara tiba-tiba”, menjadi pintu gerbang  ia menemui "AC-AC lainnya". Mempunyai penampilan menarik, memiliki rumah pribadi, dan hidup bahagia menjadi impian semua orang. Tak terkecuali Arimbi.Arimbi secara tak sadartelah memasuki tahap lupa diri. Awalnya, ia dengan sukarela mengetik semua berkas-berkas persidangan yang akan disidang. Sekarang semuanya bisa beres asal ada pelicin. Dengan 86 semua urusan beres.


Saya rasa, hal seperti inilah yang membuat KPK hingga saat ini masih sulit mengungkap banyak kasus korupsi. Apalagi dengan adanya istilah 86 ini. Siapa sangka  juru ketik saja bisa masuk penjara? Setelah masuk penjara pun ia tetap lupa diri.


Didalam penjara, ia menyukai sesama tahanan wanita, dan memulai 86 lain. Ia bergabung dengan jaringan produsen sabu-sabu terbesar di Indonesia. Mungkin karena didukung Ananta, suaminya.Suaminya turut menjadi kurir diluar penjara, sementara ia masih mendekam dalam penjara.


Sebenarnya mereka melakukan hal ini demi ibu Arimbi yang sakit ginjal. Dimana membutuhkan biaya satu juta per-minggu untuk cuci darah. Sampai pada suatu hari ibunya meninggal. Ya yang namanya manusia, mereka juga tak pernah puas. Setelah keluar dari penjara pun, mereka masih melakoni profesi sampingannya sebagai kurir sabu-sabu. Hingga suatu hari mereka menemui “ajalnya”.


Dibukunya yang lain Okky juga mengangkat isu kemanusiaan yang berjudul Entrok dan Maryam. Sepertinya, Okky memang fokus mengangkat isu-isu yang menyangkut idealisme, pluralisme, kaum minoritas, hingga korupsi. Ia juga selalu mengangkat tokoh perempuan disetiap bukunya. Okky menyajikan cerita ini mengalir dan mudah dimengerti. Didukung dengan deskripsi yang jelas. Barangkali karena ia pernah menjadi wartawan untuk kasus-kasus korupsi dan hukum. Sama seperti kita memahami lokasi-lokasi kejadian dalam cerita. Karena dihalaman awal buku disajikan peta lokasi cerita.


Judge this book from the cover. Bagi saya, daya tarik awal buku ini ya pada sampul depannya.Terlebih kalau diperhatikan detail gambarnya.Sampai buku ini selesai saya baca, saya tak menemui kekurangan. Mungkin karena saya terbawa emosi saat membacanya. Saya harap kalian pun demikian. Buku ini menjadi salah satu buku terbaik pada Khatulistiwa Literary Award 2011, sama seperti buku Okky yang lain.


Resensi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1553:86-tau-sama-tau&catid=42:resensi&Itemid=62