Selasa, 16 Juli 2013
Senin, 15 Juli 2013
Sepucuk Senyum Buat Ibu
Salam hangat teruntuk yang tersayang
Ibu,
Ditempat terindah,
Rumah yang abadi
Selamat setiap sapa, Bu..
Pagi, siang, sore, malam, dan subuh
Semoga ibu dalam keadaan baik dan tersenyum
Jika hati merindu, senyum ibu menjadi pelipur lara
Sampaikan salamku juga buat Ayah, Nenek, juga Kakek ya Bu
Ibu pasti sudah tahu apa yang akan aku ungkapkan ini
Tapi Ibu tahu kan kalau aku lebih suka kalau Ibu dengar langsung dariku?
Begini Bu...
Saat ini hatiku sangat gembira
Meski Ibu sudah tahu aku tetap akan mengungkapkannya
Ibu bisa lihat dari gambar yang aku buat di kertas ini
Bercahaya bukan?
Penuh warna cerah dan menawan
Semuanya warna kesukaan ibu loh..
Kata ibu semua warna itu indah bukan?
Karna tanpa warna hidup bakal kelam dan kelabu
Ahh, semakin membuatku merindu padamu Bu!
Mungkin hanya ini yang aku sampaikan di suratku yang semakin menumpuk
Semoga ibu tak lelah membaca dan mengeja setiap warna dan kataku ya Bu!
Karena sudah pasti ibu tahu bahwa aku sangat merindu ibu dalam senyum
Kecup rindu teruntuk ibu di Rumah Bapa,
Anakmu, yang selalu mengirimkan sepucuk senyum buat Ibu
Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://www.suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1825:sepucuk-senyum-buat-ibu&catid=48:puisi&Itemid=67
Katanya (Maha) Siswa
Katanya hampir sama dengan Maha Esa
Katanya agen perubahan
Katanya pengawas kebijakan pemerintah
Katanya maha, MAHASISWA
Bukankah seharusnya bertindak bijak dan rasional?
Trus, bukankah juga harus diskusi dan sedikit kongkow?
Nah, sekarang? Aku tak mau bilang sudah tak seperti itu lagi
Cuma, aku lihat apa yang ada di depan mata
Apa yang disajikan media untukku tentang (maha) siswa
Katanya sekarang sering aksi ke jalan
Katanya mereka bakar ban
Katanya kebanyakan sih kongkownya daripada aksi
Katanya mereka mulai lebih anarkis
Anarkis yang seperti apa?
Seperti 98?
Atau seperti 65?
Saat itu jelas dan ada hasil toh?
Ya, hasilnya seperti sekarang yang kita alami inilah
Budaya ke-mahasiswaan baru
Lebih pikir pendek dan sedikit kucuran makan siang
Aku semakin tak tahu apa yang seharusnya dilakukan
Setidaknya aku sudah tak tahu jalan pikiran mana yang harus kupilih
Memilih bergabung dengan mereka ((maha)siswa)?
Atau menjadi aku yang tetap menjadi aku
Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://www.suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1695:katanya-maha-siswa&catid=48:puisi&Itemid=67
Jumat, 03 Mei 2013
Rintik Tak Mau Pergi
Berjalan menyusuri rintik-rintik kecil
Menapaki jejak demi jejak
Mengenang duka dalam duka
Bahkan suka dalam duka
Terdiam!
Membisu dalam keramaian
Seakan sendiri ditengah dunia yang penuh sesak ini
Mencakar hati seakan pilu sendiri
Jalan pikiran kusut seketika
Tak tahu juga penyebabnya
Mungkin ini yang terjadi, tapi mungkin juga itu
Tapi tak satupun
Satu, dua, sampai seribu pun mungkin belum
Belum mampu mematahkan
Belum mampu menguatkan
Belum mampu menyelesaikan
Entah apa mulanya
Jangan sampai terlalu lama
Penuh rasa curiga dan terkujur lemah
Entah kapan pula akhirnya
Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1401:rintik-tak-mau-pergi&catid=48:puisi&Itemid=67
Menapaki jejak demi jejak
Mengenang duka dalam duka
Bahkan suka dalam duka
Terdiam!
Membisu dalam keramaian
Seakan sendiri ditengah dunia yang penuh sesak ini
Mencakar hati seakan pilu sendiri
Jalan pikiran kusut seketika
Tak tahu juga penyebabnya
Mungkin ini yang terjadi, tapi mungkin juga itu
Tapi tak satupun
Satu, dua, sampai seribu pun mungkin belum
Belum mampu mematahkan
Belum mampu menguatkan
Belum mampu menyelesaikan
Entah apa mulanya
Jangan sampai terlalu lama
Penuh rasa curiga dan terkujur lemah
Entah kapan pula akhirnya
Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1401:rintik-tak-mau-pergi&catid=48:puisi&Itemid=67
Aku Ingin
Aku ingin lepas, lepas dari segala yang sedang terjadi
Aku ingin bebas, bebas dari segala jeratan liku
Aku ingin tebas, menebas kegalauan yang kian menerpa
Aku, ya aku ingin
Aku ingin terbang bebas
Aku ingin terbang mengarungi luasnya khayal
Aku, ya aku ingin
Aku ingin mengasah tali yang membelenggu
Aku ingin pergi!
Aku, ya aku ingin
Aku ingin tidak ada lagi aku
Aku ingin tenang tanpa aku
Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1661:aku-ingin-lepas-lepas-dari-segala-yang-sedang-terjadi&catid=48:puisi&Itemid=67
Aku ingin bebas, bebas dari segala jeratan liku
Aku ingin tebas, menebas kegalauan yang kian menerpa
Aku, ya aku ingin
Aku ingin terbang bebas
Aku ingin terbang mengarungi luasnya khayal
Aku, ya aku ingin
Aku ingin mengasah tali yang membelenggu
Aku ingin pergi!
Aku, ya aku ingin
Aku ingin tidak ada lagi aku
Aku ingin tenang tanpa aku
Puisi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co
http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1661:aku-ingin-lepas-lepas-dari-segala-yang-sedang-terjadi&catid=48:puisi&Itemid=67
Kamis, 11 April 2013
Eka Prahadian Abdurahman: Perjalanan Ribuan Kilometer Dimulai dari Langkah Pertama
Meski ia tak ada merasakan hal yang luar biasa saat pertama kali mencoba ganja, ia tetap melakukannya lagi dan lagi. Masa putih abu-abu bahkan menjadi kunci gerbang menuju kenikmatan semu lainnya. Hingga ia menemukan satu titik dilembar kehidupannya yang baru. Untuk mempunyai arti bagi semua orang.
Bangunan berwarna kuning pudar hampir cokelat itu tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang sedang berbincang. Posisi bangunan itu berada di JalanSei Asahan Medan. Langkah saya terhenti dan mulai bertanya, apakah saya bisa menemukan seseorang mantan pecandu narkoba? Judea Samosir, Koordinator Case ManagerCaritas PSE Medan menyebutkan satu nama. Mas Ewok. Mungkin begitu mereka menyapanya. “Dia dulunya mantan pecandu, dan sekarang udah jadi ManajerProjectdisini (Rumah Singgah Caritas-red). Dia sekarang udah mapan dengan segala yang dilakukannya. Menolong orang lain.
Eka Prahadian Abdurahman. Ayah dan Ibunya bercerai saat ia berusia dua tahun. Hal ini membuat Eka harus tinggal secara nomaden semenjak duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Kadang di rumah Ibu, di rumah Ayah atau ke rumah nenek dari pihak Ibu.
Keluarga ayahnya beragama Kristen. Saat natal setiap tahun tiba, biasanya akan ada pesta di rumah. Ayah, kakek, paman, dan banyak keluarganya yang lain biasanya minum-minum alkohol, keluarganya memang alkoholic.
Sesekali, saat tak ada yang melihat diam-diam ia menenggak alkohol yang ada dirumahnya. Hal ini biasa ia lakukan dan berulang kali. “Sepupu saya umurnya udah kuliahan waktu itu, jadi nggak ada teman seumuran kalau dikeluarga. Mereka (Sepupu-red) yang awalnya mengajari saya minum,” kata lelaki yang akrab disapa Mas Ewok ini. Sejak menginjak usia ke delapan tahun ia terbiasa minum alkohol.
Saat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia sudah menetap tinggal bersama neneknya, hanya terbiasa minum alkohol ia mulai mencoba yang lebih lagi. Memiliki teman dan lingkungan yang kurang sehat membuatnya terlalu gampang berkenalan dengan obat-obatan terlarang.
“Rumah nenek saya itu dekat dengan pangkalan ojek, terminal, juga komplek Perwira AD. Jadi saya sudah terbiasa dengan kehidupan pasar dengan pertemanan anak-anak perwira yang saat itu dianggap sangat berkuasa,” ujar pria kelahiran Bandung, 23 Juni 1982 ini.
Saat mencoba untuk bergabung dengan teman dan lingkungan sekitar, ia disambut dengan ganja. Iseng, saat itu ia hanya iseng dan ingin tahu rasa ganja. Hingga akhirnya, nyimeng-menggunakan ganja- menjadi ritual yang sering dilakukan bersama teman-temannya saat SMP. Anehnya dia masih menganggap rokok itu sebagai barang haram. “Saat itu saya masih menganggap rokok bisa merusak paru-paru, dan mengganggu kesehatan. Hingga SMA saya baru nyoba ngerokok,” tuturnya sambil tertawa kecil.
Tak hanya nyimeng, ternyata ia juga memiliki komunitas balapan liar, dan tempat tongkrongan untuk minum-minum alkohol. Itu sudah umum dilakukan dilingkungan tempat tinggalnya. Semua hal yang dilakukannya ini seakan tak berujung. Karena tak ada keluarga yang melarangnya. Disinilah tahapan dimana ia memilih keluar dan hidup sendiri. Ia tinggal di sebuah kamar kos. Namun ia masih tetap menjalin hubungan dengan keluarganya. “Walaupun aku udah nggak tinggal dirumah lagi, mama tetap ngirimin uang bulanan kok. Tapi nggak pernah cukup untuk hidup. Apalagi makeitukan butuh biaya mahal juga,” ungkapnya.
Saat ia bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 5 Cimahi, inilah puncak pengembaraannya pada dunia obat-obatan terlarang. Dengan menggunakan obat-obatan terlarang, ia merasa diterima oleh komunitasnya. Komunitas yang dipenuhi “orang-orang sakit” kata masyarakat umum. Kelas dua SMA ia semakin menjadi karena setiap hari ia harus menggunakan drugs, lagi dan lagi. Berlanjut hingga ia masuk ke salah satu perguruan tinggi.Tentunya uang adalah hal yang sangat ia perlukan untuk membeli barang-barang tersebut. Berbagai cara ia lakukan untuk memperoleh uang.
Mulai dari menggunakan uang yang diberikan oleh orang tua, mencari seribu alasan demi uang, menjual barang-barangyang ada, mencuri, memeras bahkan merampok. Tindak kriminal itu pernah semua ia lakukan.
Merampok dan memeras tak ia lakukan sendiri. Bersama temannya yang preman-preman dan anak-anak Perwira Angkatan Darat (AD) , dia beraksi. “Teman-temanku banyak yang memiliki senjata api milik orang tua mereka. Sama sekali tak ada rasa takut, malah merasa terlindungi dengan jabatan orang tua mereka,” katanya dengan logat khas sunda.
Pernah ia dan teman-temannya tertangkap polisi saat beraksi merampok motor, alhasil mereka digiring ke kantor polisi, mendekam selama sehari lalu keluar lagi. Begitu juga saat mereka digrebek sedang menggunakan obat-obatan terlarang. Masuk sehari lalu langsung keluar. Ditangkap polisi tak membuatnya jera sama sekali. ”Kan ada orang tua teman-teman saya, jadi gampang keluarnya,” ujar laki-laki dengan rambut plontos ini.
Hal terburuk dalam hidupnya adalah memasuki kelas dua SMA hingga semester lima saat kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota kelahirannya, Bandung. “Udah gak punya duit, dari keluarga jauh, temen banyak yang OD (Over Dosis-red), barang-barang pada hilang, kuliah putus,” katanya. Masa-masa hit the bottom inilah yang membuatnya merasa hancur dan terpukul.
Awalnya ada temannya-seorang mantan pecandu- mendekati secara intens saat di tempat tongkrongannya. Tujuannya satu, yaitu mengajak Ewok pulih. “Dia datang, tapi nggak menggurui. Tapi dia mendekati secara personal, Orang make itu ada titik jenuhnya juga. Cuma pengen ritualnya aja,” katanya. Ia mulai gundah dan tersentuh.
“Just for today” menjadi semboyannya saat mencoba pulih dari narkoba. Pasang badan pun menjadi pilihan saat sakaw. Mau tidak mau memang harus begitu. “Tidak harus saat itu juga berhenti, ada tahapan-tahapannya. Makanya saya hanya memikirkan hidup untuk hari itu saja dulu. Syukur kalau saya bisa melewati satu hari tanpa make,” katanya.
Sejak tahun 2001, ia mulai mengikuti training korps dasar relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dan belajar di pesantren. Hingga, 17 Juli 2001 ia berhenti total menggunakan narkoba hingga hari ini. “Di training PMI semua kegiatan sehari-hari terjadwal. Jadi gak ada waktu untuk memikirkan narkoba lagi,” ujar Ewok.
Ia mengaku tak pernah menyesal dengan masa lalunya. “Kalo keputusan udah kita ambil jangan pernah menyesal, baik buruk, toh kita yang ngelakuin. Yang paling menyesal itu,hanya waktu kuliahku putus,” kata pria berdarah Sunda ini.
Akhirnya, keluarganya tahu bahwa ia pengguna narkoba setelah ada artikel sebuah surat kabar kota Bandung mengangkat sosoknya sebagai relawan narkoba dalam memperingatai World Aids Day dan Hari Narkoba Nasional pada tahun 2002 dimana ia sebagai mantan pengguna narkoba. “Reaksi keluarga saya ya biasa saja. Keluarga saya berprinsip kalau sudah terjadi yasudahlah, yang penting ada niat baik untuk berubah,” ungkapnya.
Saat ini ia menggeluti dunia relawan adiksi narkoba dan dampak buruknya. Semua diawali saat tahun 2004 mengikuti training dari UNICEF dan YAKITA untuk menjadi pendidik sebaya korban adiksi narkoba, dan ia terpilih bersama sembilan orang lainnya dari 25 orang yang ikut training.
Ia hijrah ke Pulau Sumatera pada tahun 2005 saat bekerja di Aceh pada International Committe Red Cross (ICRC) untuk bencana Tsunami. Ia pun diminta UNICEF dan YAKITA menyediakan program bagi anak muda dia Aceh dan berjalan hingga sekarang, yaitu Rumah Singgah dan Panti Rehabilitasi “Rumoh Geutanyo”.
Saat mengikuti konferensi Internasional AIDS Asia Pasifik di Bali pada mei 2009, ia juga ditawari menyediakan rumah singgah di Medan oleh Caritas Jerman. Dari Desember 2009 hingga sekarang ia menjabat sebagai Project Manajer Bidang Narkoba dan HIV pada Caritas PSE Medan. Hingga tak jarang ia mengikuti berbagai pelatihan dan konfrensi mengenai narkoba dan HIV/AIDS di berbagai negara di dunia. “Kebahagiaan yang hakiki bukan dengan melayani diri sendiri, tapi dengan melayani orang banyak,” tutupnya.
Tulisan ini sudah dipublikasikan di www.sosokindonesia.com
http://www.sosokindonesia.com/2013/04/eka-prahadian-perjalanan-ribuan.html
Senin, 08 April 2013
86 : Tahu Sama Tahu
“Membiasakan yang benar pastilah lebih nyaman daripada membenarkan yang biasa.”
Apa
yang saya pikirkan mungkin sama dengan yang anda pikirkan. 86-lapan enam-
adalah istilah kepolisian yang memiliki arti sama-sama mengerti atau memahami.
Istilah inipun mencuat kepermukaan, hingga sekarang maknanya “beres bersyarat”.
Tahu sama tahu. Isu sosial inilah yang membuat Okky Madasari mengangkat isu 86
dalam bukunya yang berjudul sama.
Arimbi,
seorang anak petani asal Ponorogo.Berprofesi sebagai juru ketik dan tukang
fotokopi di sebuah pengadilan negeri di Jakarta. Ia tinggal di sebuah gang sempit yang lumayan jauh
dari kantornya. Hanya berjalan kaki sekitar lima menit menuju simpang jalan
besar Mampang, kemudian menaiki Kopaja sekitar dua puluh menit saat jam macet
menuju kantor.
Gang
tempatnya tinggal penuh sesak dan keringat ketika pagi dan sore menjelang. Bagaimana
tidak, disanalah buruh-buruh pabrik dan pegawai-pegawai rendahan tinggal.Mereka
mengawali hari dengan keburu-buruan, begitu pula mengakhiri rutinitas dengan
hal yang serupa.Alasan utamanya memilih rumah kontrakan
iniadalah harga. Ada harga ada pula
kualitas. Rumah ini hanya bisa diisi sebuah kasur, kamar mandi, dan sebuah
dapur kecil disampingnya.
Awalnya ia bekerja normal tanpa embel-embel 86. Sama seperti ketika ia melamar pekerjaan tanpa harus bayar danditerima menjadi
Pegawai Negeri Sipil. Mungkin nasib. Ya
nasib jugalah
yang sedang berpihak padanya ketika
sebuah AC (air conditioner) tiba
dirumah kecilnya suatu malam. Setelah empat
tahun menjadi juru ketik, baru kali inilah ia dikagetkan pemberian orang.
Berawal dari AC
yg datang secara “tiba-tiba”, menjadi pintu gerbang ia menemui "AC-AC lainnya". Mempunyai penampilan menarik, memiliki
rumah pribadi, dan hidup bahagia menjadi impian semua orang. Tak terkecuali
Arimbi.Arimbi secara tak sadartelah memasuki
tahap lupa diri. Awalnya, ia dengan sukarela mengetik semua berkas-berkas
persidangan yang akan disidang. Sekarang semuanya bisa beres asal ada pelicin. Dengan 86 semua urusan beres.
Saya
rasa, hal seperti inilah yang membuat KPK hingga saat ini masih sulit
mengungkap banyak kasus korupsi. Apalagi dengan adanya istilah 86 ini. Siapa
sangka juru ketik saja bisa masuk
penjara? Setelah masuk penjara pun ia tetap lupa diri.
Didalam
penjara, ia menyukai sesama tahanan wanita, dan memulai 86 lain. Ia bergabung
dengan jaringan produsen sabu-sabu terbesar di Indonesia. Mungkin karena
didukung Ananta, suaminya.Suaminya turut menjadi kurir diluar penjara,
sementara ia masih mendekam dalam penjara.
Sebenarnya
mereka melakukan hal ini demi ibu Arimbi yang sakit ginjal. Dimana membutuhkan
biaya satu juta per-minggu untuk cuci darah. Sampai pada suatu hari ibunya
meninggal. Ya yang namanya manusia, mereka juga tak pernah puas. Setelah keluar
dari penjara pun, mereka masih melakoni profesi sampingannya sebagai kurir
sabu-sabu. Hingga suatu hari mereka menemui “ajalnya”.
Dibukunya
yang lain Okky juga mengangkat isu
kemanusiaan
yang berjudul Entrok dan Maryam. Sepertinya,
Okky memang fokus mengangkat isu-isu yang menyangkut idealisme, pluralisme,
kaum minoritas, hingga korupsi. Ia juga selalu mengangkat tokoh perempuan
disetiap bukunya. Okky menyajikan cerita ini mengalir dan mudah dimengerti.
Didukung dengan deskripsi yang jelas. Barangkali karena ia pernah menjadi
wartawan untuk kasus-kasus korupsi dan hukum. Sama seperti kita memahami
lokasi-lokasi kejadian dalam cerita. Karena dihalaman awal buku disajikan peta
lokasi cerita.
Judge this book from the cover. Bagi saya, daya tarik awal buku ini ya pada sampul depannya.Terlebih kalau diperhatikan detail gambarnya.Sampai buku ini selesai saya baca, saya tak menemui kekurangan. Mungkin karena saya terbawa emosi saat membacanya. Saya harap kalian pun demikian. Buku ini menjadi salah satu buku terbaik pada Khatulistiwa Literary Award 2011, sama seperti buku Okky yang lain.
Resensi ini telah dipublikasikan di www.suarausu.co http://suarausu.co/index.php?option=com_content&view=article&id=1553:86-tau-sama-tau&catid=42:resensi&Itemid=62
Nujood, Gadis Kecil yang ‘Tangguh’
“Aku hanya gadis desa
yang lugu dan sederhana.. Aku menuruti semua perintah ayah dan kakak-kakak
lelakiku. Dari dulu aku belajar mengatakan ya kepada apa saja. Hari ini, aku
memutuskan berkata tidak.” –Nujood Ali
Dengan pasti ia melangkahkan kakinya menuju sebuah
pengadilan, yang dipikirnya tempat yang tenang, bersih, rumah besar
berlangsungnya kebaikan mengalahkan kejahatan, tempat dimana bisa memperbaiki semua masalah di dunia.
Hanya satu yang dia inginkan. Perceraian. Ya perceraian.
Meski ia tidak tahu betul apa arti dari perceraian tapi ia
menginginkannya. Menginginkan perpisahannya dengan suami. Suami yang telah
membuatnya berdarah. Bahkan sebelum mensturasi pertamanya. Setelah kurang lebih
dua bulan menjadi istri seorang yang
bekerja sebagai pengantar barang yang membawakan paket kemana-mana dengan
sepeda motornya.
Sebelas anak menghiasi rumah kecil di daerah Khardji, yang
tidak jauh dari Hajja kota penting di barat laut Yaman, di sebelah utara
Sana’a. Yang bisa dicapai selama empat jam perjalanan melalui jalan aspal, dan
ditambah empat jam lagi melalui pasir dan puing-puing. Belum lagi Shoya, dan
Aba-Sapaan ayah di Yaman-.
Disana, wanita tak boleh menentukan nasib mereka. Kepala
keluarga atau anak laki-lakilah yang berhak berpendapat dan mengambil
keputusan. Karena itu jugalah Omma-sapaan ibu di Yaman- menurut ketika Aba
memutuskan menikah lagi dengan Dowla.
Dengan tradisi itu juga yang membuatnya tak mempunyai
pilihan ketika Ali Mohhammad al-Ahdel, ayahnya menikahkannya dengan Faez Ali
Thamer. Dengan dalih melindunginya dan diilhami kisah Nabi Muhammad yang
menikahi Aisyah yang berusia sembilan tahun. Setelah menikahkan Mona, kakaknya
di usia belia juga.
“Ayo Nujood! Memang
benar kau hanya gadis kecil, tapi kau juga seorang wanita, dalam arti
sebenarnya, meskipun kau masih sulit menerima itu” dalam hati ia berbicara.
Menyemangati diri sendiri, mengumpulkan keberanian, dan melangkah lebih yakin.
Setelah sekian lama mencari hakim, dan semakin bingung di tengah lautan manusia
yang belum pernah ditemuinya sebelumnya.
Ia memasuki ruangan berlapis karpet cokelat, penuh orang.
Suasananya begitu riuh, tetapi menenteramkan. Ia merasa aman. Kemudian ia
tertidur dalam waktu yang lama, sampai orang yang ingin ditemuinya
membangunkannya. Hakim.
Ia adalah Nujood. Nujood, gadis belia yang masih berusia
hampir sepuluh tahun menurut perkiraan Omma. Gadis periang yang mencintai air
dan lautan. Gadis penuh tanda tanya dan rasa optimis yang tinggi. Gadis yang
menginspirasi dunia dengan keberaniannya.Gadis yang mendapat predikat “Woman of
the Year” dari majalah perempuan Glamour produksi Amerika Serikat pada
akhir 2008.
Kondisi psikologisnya jelas
terganggu dengan pernikahan muda-nya ini. Halusinasi dan ketakutan
berlebih sering ia tunjukkan di saat yang tidak tepat. Ia bahkan berjanji untuk
tidak akan menikah lagi. Ia juga berjanji akan membela gadis-gadis lain dengan
bercita-cita sebagai pengacara. Seperdi Shada, pengacara dan ibu kedua baginya.
Buku setebal 227 halaman ini mengisahkan sosok Nujood dengan
sangat hidup. Kisah ini sendiri ditulisnya sendiri bersama Delphine Minoui,
seorang jurnalis asal Prancis yang bekerja di Iran dan Timur Tengah sejak 1997.
Delphine sendiri telah menulis buku Les
Pintades a Teheran, dengan tema yang mirip yaitu kehidupan para perempuan
di Iran yang kebebasannya terkungkung.
Bahasa yang dipakai dalam buku ini tegas dan lantang.
Mengesankan sifat berani dan siap menanggung resiko. Kisah nyata ini juga
mengundang perhatian dunia bukan semata dengan perceraiannya. Tapi lebih karena
keberaniannya “bicara”. Bicara mengenai ketidakadilan dan diskriminasi
perempuan. Bicara tentang benar dan salah.
Tulisan pertamanya ini ia dedikasikan untuk Arwa, Rym, dan
semua gadis kecil Yaman yang memimpikan kebebasan. Karena jutaan gadis kecil
juga mengalaminya. Diakhir buku, penulis mengajak berdiskusi mengenai
catatan-catatan yang dinilai kontroversi. Membiarkan pembaca terbuai dengan
kebebasan berpikir mengenai apa dan bagaimana kisah ini ditanggapi.
Langganan:
Postingan (Atom)